maleo, burung yang terancam punah


Bahasa Latin satwa yang masuk dalam bangsa Aves atau burung-burungan ini adalah Macrocephalon maleo. Tubuhnya kecil, tapi telurnya tiga kali lebih besar dari telur bebek. Beratnya 450 gram per butirnya.Burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi, artinya hanya bisa ditemukan hidup dan berkembang di Pulau Sulawesi . Populasi terbanyaknya kini tinggal di Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar alam Saluki, Donggala, Sulawesi Tengah. Di wilayah enclave Taman Nasional Lore Lindu ini, populasinya ditaksir tinggal 320 ekor. Memprihatinkan, sebab jumlah populasi pada tahun 1970-an ditaksir tak kurang dari 1000 ekor. Populasi Maleo terancam oleh para pencuri telur dan pembuka lahan yang mengancam habitatnya. Belum lagi musuh alami yang memangsa telur Maleo, yakni babi hutan atau biawak.

Habitatnya yang khas juga mempercepat kepunahan. Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu, Maleo mengubur telurnya dalam pasir hingga kedalaman 15 centimeter. Lalu telur itu dierami oleh panas bumi, karena Maleo tidak bisa mengerami sendiri.
Sayang, pencuri telurnya merajalela. Di pasaran harga telur Maleo mencapai Rp 15 ribu per butir. Itulah yang membuat telurnya diburu pencuri. Untunglah Dinas Kehutanan Melalui Balai Taman Nasional Lore Lindu berhasil membuat penangkarannya, bekerja sama dengan masyarakat setempat.
Peran Herman Sasia, seorang anggota Polisi Khusus Kehutanan tidak bisa dibilang kecil. Sudah sembilan tahun ia menangkarkan Maleo dan berhasil membiakkan sekitar 600 ekor Maleo sejak 2003.
"Kalau dulu, musuh saya adalah pencuri telur dari luar kawasan penangkaran, sekarang tinggal biawak dan babi yang biasa memakan telurnya. Masyarakat di sini sudah mulai paham bahwa Maleo sudah makin kecil populasinya dan burung ini adalah salah satu burung yang dilindungi," akunya.
Ia bekerja sama dengan tokoh masyarakat setempat juga para pemudanya. Di antaranya Mohammad Ridwan yang dulu mengaku sering mengambil telur Maleo. Ia bersyukur ada petugas Kehutanan yang mau bekerja menangkarkan Maleo.
"Ini Maleo kalau tidak dipelihara, saya yakin sekarang sudah tidak akan ada lagi. Biasanya yang mengambil telur-telur Maleo itu dan menjualnya ke pasar adalah para perotan yang masuk dalam kawasan Taman Nasional mencari rotan," kata Ridwan.
***
Kerja keras Herman dibantu masyarakat setempat membuahkan hasil. Salah seorang tokoh masyarakat setempat yang besar perannya adalah Ambo Tuo. Sayang, lelaki itu telah berpulang ke hadapan Tuhan sebelum sempat menikmati hasil kerjanya.
"Saya mendapat laporan dari warga yang berkebun kakao di dekat pal batas Taman Nasional bahwa mereka sering melihat Maleo masuk ke kebun mereka," kata Herman.
Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu Widagdo menyatakan keberhasilan penangkaran Maleo ini adalah berkat masyarakat setempat. Adapun petugas Kehutanan setempat menjalankan fungsi penjagaan dan pengawasan, juga sebagai motivator masyarakat dalam pelestarian hutan.
Ada hal menarik pula dari burung ini. Ia ternyata antipoligami. Sepanjang hidupnya, ia hanya punya satu pasangan. Burung ini tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.
Seperti Herman, Ridwan dan Agus, kita pun berharap satwa endemik warisan dunia ini bisa mencapai ratusan atau bahkan ribuan ekor lagi populasinya. Agar anak cucu kita tak hanya mendengar dongeng tentang burung bertelur besar ini. ***


( sumber diambil dari blog : http://jgbua.wordpress.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar